Beranda | Artikel
Mencontoh Wara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
Senin, 7 September 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Mencontoh Wara’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 19 Muharram 1442 H / 7 September 2020 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Mencontoh Wara’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tentunya beliau adalah teladan terbaik dalam segala hal, termasuk di dalam bab wara’ ini. Allah mengatakan:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sungguh pada diri Nabi telah terdapat suri tauladan yang baik bagi kita semua.” (QS. Al-Ahzab[33]: 21)

Suri tauladan bagi umatnya, bahkan bagi umat manusia. Dan dalam hal wara’, beliau adalah hamba yang terdepan. Beliau mencontohkan dan menganjurkan kepada umat beliau agar tetap memelihara sifat wara’ ini, terutama di dalam hal tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya atau bahkan sesuatu yang masih samar kedudukannya, menjauhkan diri dari perkara-perkara syubhat.

Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi pernah berkata kepadanya: “Sewaktu aku pulang menemui keluargaku, aku mendapati sebutir kurma tergeletak di atas tempat tidur. Aku ingin memungutnya untuk memakannya, namun seketika itu muncul kekhawatiran bahwa itu merupakan kurma zakat, maka aku tidak jadi memakannya.” Itu karena kekhawatiran bahwa itu bukan hak beliau, bahwa itu haram atas beliau. Maka wara’ mendorong beliau untuk menahan diri, tidak mengambil kurma tersebut. Tentunya belum bisa dipastikan kurma itu adalah kurma zakat. Ini semata-mata karena kekhawatiran beliau muncul pada saat itu.

Inilah dia sikap menjauhi perkara-perkara yang samar-samar. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وعِرْضِهِ

“Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, maka dia telah menjaga kehormatan diri dan kesucian agamanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengajarkan sifat ini kepada keluarga beliau terutama. Pada suatu hari Al-Hasan bin ‘Ali, cucu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memungut sebutir kurma kemudian memasukkannya ke mulut. Ternyata kurma itu adalah kurma zakat yang datang untuk dibagikan. Melihat itu Nabi segera mengeluarkannya seraya berkata: “Buang, tidakkah kamu tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?” Ini adalah pelajarn yang diberikan Nabi kepada Al-Hasan bin ‘Ali, padahal waktu itu Al-Hasan bin ‘Ali hanyalah bocah kecil, tapi Nabi ingin menanamkan satu sikap kepada cucu beliau ini. Hingga ketika ada yang berkata: “Wahai Rasulullah, biarkanlah, bukankah dia seorang bocah?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa harta zakat itu tidak halal bagi keluarga Muhammad. Beliau tidak ingin memasukkan sesuatu yang bukan hak beliau ke dalam rumah beliau untuk anak cucu beliau.

Termasuk salah satu sifat dayyuts adalah membiarkan kemungkaran dilakukan di tengah-tengah keluarganya. Seorang suami atau kepala rumah tangga yang dayyuts adalah yang membiarkan kemungkaran terjadi dilakukan di tengah-tengah keluarganya. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin menanamkan pelajaran itu kepada umat beliau. Jangan biarkan suatu kemungkaran terjadi dilakukan oleh anak cucu kita. Dalam hal ini masalah harta, ini adalah perkara yang sangat penting. Karena apa yang kita ambil dan apa yang kita gunakan dari harta itu, ini akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Nabi betul-betul memperhatikan hal itu. Karena tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari usaha dan rezeki yang haram.

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ

“Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari usaha dan rezeki yang haram.” (HR. Ahmad)

Itu yang benar-benar dijaga oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka kita harus bersungguh-sungguh untuk tidak membawa masuk rezeki-rezeki haram ke dalam rumah kita dan kita suapkan itu kepada anak istri kita dan juga diri kita. Maka jangan terkejut jika di dalam Islam fiqih ath’imah (jenis-jenis makanan) termasuk fiqih yang sangat komplit. Makan ada adab-adabnya, mulai dari mencari makan, apa yang boleh dimakan, bagaimana cara makan, bagaimana mengolah makan, sampai membuang makanan itu setelah menjadi kotoran. Bab makan itu diatur dari A sampai Z, dari hulu ke hilir. Karena ini adalah satu perkara yang menumbuhkan tubuh seseorang.

Demikian pula di dalam bab makanan, mencari harta, rezeki, kita pastikan kehalalannya, bersikap wara’-lah. Karena ketika kita memiliki sikap wara’ ini kita akan terhindar dari rezeki-rezeki yang syubhat, apalagi yang haram. Terutama para pedagang, mereka perlu memiliki sifat wara’ ini. Karena godaan ketika kita bergelut dengan harta, godaan itu sangat besar. Kadang-kadang kita suka gelap mata, kita kurang wara’, sehingga hak manusia pun kadang-kadang kita langkahi, kita rampas, kita rebut dan kita klaim bahwa itu adalah hak kita.

Untuk dalam bab harta, wara’ ini memang sangat berat. Karena urusan harta adalah urusan yang kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إنَّ الدُّنْيا حُلْوَةٌ خضِرَةٌ

“Dunia itu adalah perkara yang manis dan hijau.” (HR. Muslim)

Dunia memancing orang untuk datang kepadanya dan mengejarnya. Maka salah satu perkara untuk dapat wara’ adalah dengan memindahkan hati kita dari dunia ke akhirat. Ini adalah perkara yang membantu kita untuk bisa bersikap wara’.

Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tekankan  kepada hamba-hambaNya. Dalam surat Al-Qashash, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّـهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Carilah akhirat dengan dunia yang Allah berikan kepadamu, dan jangan lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash[28]: 77)

Ayat ini mendorong kita untuk menjadikan akhirat sebagai prioritas pertama dan utama di dalam hidup, orientasi hidup kita adalah akhirat. Dunia jangan dilupakan, dunia adalah jembatan, dunia adalah sandaran, dunia adalah bantalan atau pijakan untuk bisa melompat lebih tinggi lagi bantinya di kampung akhirat, untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi lagi nanti di kampung akhirat.

Maka dengan perkara ini seorang hamba akan terbantu untuk dapat bersikap wara’ menghadapi dunia berkaitan dengan harta. Karena memang susah kalau urusannya sudah dengan masalah uang ataupun harta. Harta umat kadang-kadang di klaim menjadi harta pribadi, harta manusia di klaim sebagai harta dirinya. Ini adalah satu perkara yang kadang-kadang manusia jatuh ke dalamnya. Karena ketamakan, karena tidak adanya wara’ terhadap harta dunia.

Sering kita dengar perkataan manusia: “Kalau ingin menguji seseorang, coba ujilah dia dalam urusan uang.” Kalau amanah, lurus, dia punya wara’ di situ, maka di situlah dapat dinilai bagaimana kualitas keshalihan seseorang.

Maka dari itu Nabi betul-betul bersungguh-sungguh menanamkan sifat ini kepada umat beliau, pertama beliau mencontohkannya seperti yang kita sebutkan kisahnya tadi. Demikian juga dalam ruang lingkup keluarga beliau, anak cucu beliau, istri-istri beliau, kemudian sahabat-sahabat beliau, orang-orang yang ada di sekitar beliau. Seperti yang kita ketahui bagaimana wara’nya Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tidak rela masuk ke dalam tubuhnya makanan yang masih syubhat.

Kisahnya sudah kita sebutkan kemarin. Tanpa diketahui dan disadari olehnya ia memasukkan makanan ke dalam tubuhnya hasil dari penipuan yang dilakukan oleh budaknya kepada seseorang. Budaknya ataupun pelayannya bercerita bahwa dia pernah menipu orang dengan berpura-pura menjadi tabib padahal dia bukan tabib. Kemudian dia bertemu lagi dengan orang itu dan memberikan makanan dan makanan itu diberikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau tidak rela makanan itu masuk ke dalam tubuh beliau dan menjadi darah daging beliau. Maka beliau pun memuntahkan isi perut beliau. Demikian pendidikan yang ditanamkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada sahabat-sahabat beliau Radhiyallahu ‘Anhum Jami’an.

Ini harus menjadi contoh bagi kita semua, bagaimana wara’nya Nabi, padahal dunia ada di depan beliau, tetapi beliau tetap menjaga jarak dengan dunia, beliau tetap menjaga jarak dengan kemegahan dan kemewahan dunia.

Nabi pernah berkata di dalam hadits beliau, hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi berpesan kepadanya:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ، وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا ، وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا ، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

“Wahai Abu Hurairah, hendaklah kamu bersikap wara’, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling tinggi ubudiyahnya (penghambaan diri) di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaklah kamu menjadi orang  yang qana’ah, niscaya kamu akan menjadi hamba yang paling bersyukur…”

Bagimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian

Download mp3 yang lain tentang Aktualisasi Akhlak Muslim di sini.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48988-mencontoh-wara-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam/